Akibat keputusan yang dihasilkan Konferensi Meja Bundar (KMB), maka dibentuklah suatu negara federal atau negara serikat yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari beberapa negara bagian yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Indonesia Timur, dan 9 satuan kenegaraan. Banyak rakyat Indonesia yang tidak setuu dengan pembentukan RIS tersebut sehingga mereka ingin membubarkan diri. Kekecewaan dan aksi protes terhadap pembentukan negara boneka atau negara bagian tersebut diwujudkan dengan munculnya aksi pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok yaitu :
1. Pemberontakan PKI di Madiun
Berikut hal-hal penting mengenai pemberontakan PKI di madiun
a. Pemberontakan FDR
Akibat Perjjanjian Renvile yang kurang menguntungkan bagi pemerintah RI maka pemerintah kabinet Amir Syarifudin mendapat mosi tidak percaya sehingga jatuh pada bulan Januari 1948. Pada awal tahun 1948 Amir Syarifudin berbalik menadi pihak oposisi terhadap pemerintahan Hatta. Untuk memperkuat sikap oposisinya tersebut maka pada tanggal 26 februari 1948, ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang mempersatukan seluruh golongan sosialis kiri dan komunis. Anggota FDR terdiri atas Partai BUruh Indonesia (PBI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis INdonesia (Pesindo), setra Serikat Buruh Perkebunan RI (Sarbupri). Di dalam programnya FDR menuntut pemerintah membatalkan perundingan Renvile, menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, Pembubaran kabinet Hatta, dan membentuk kabinet parlementer. Dalam aksinya, FDR berusaha memancing bentrokan-bentrokan dengan lawan-lawan politiknya dan melakukan gerakan-gerakan sabotase ekonomi dengan mendalangi permogokan buruh di pabrik karung Delanggu pada tanggal 5 Juli 1948 dengan didukung buruh-buruh anggota FDR. Gerakan permogokan buruh tersebut mendapat pertentangan dari kelompok Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang menolak permogokan sehingga memancing bentrokan-bentrokan pada tanggal 10 Juli 1948. Berdasarkan dokumen ang berhasil disita dari ruma Amir Syarifudin diketahui FDR juga memiliki rencana tertentu, antara lain :
- Akan menarik pasukan komunis yang bergabung dalam TNI dari garis depan
- memindahkan pasukan-pasukan komunis ke daerah-daerah yang strategis dan
- Membentuk tentara rakyat
b. Kedatangan Muso
Kekuatan FDR semakin bertambah ketika pada bulan agustus 1948 tiba seorang tokoh komunis Indonesia dari Moskwa bernama Muso. Muso sebelumnya adalah tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada pemberontakan tahun 1926 yang kabur ke Uni Soviet setelah pemberontakan PKI digagalkan. Setelah bergabung dengan FDR, Muso segera melakukan beberapa tindakan, antara lain :
- Memperkuat Struktur organisasi PKI, dan
- Melakukan agitasi politik dengan mengancam kebijakan dan strategi pemerintah RI.
Hal tersebut dilakukan Muso karena ia menilai bahwa revolusi Indonesia bersifat defensif sehingga akan mngalamikegagalan. Untuk memperkuat peruangan maka Muso menganurkan agar dibentuk Front Nasional. Posisi kubu golongan iri menadisemakin kuat ketika pada bulan agustus 1948, partai-partai sosialis kiri, seperti partai sosialis, partai buruh, dan PKI melakukan fusi.
c. Agitasi Politik PKI
Selanutnya, untuk mengacaukan surakarta PKI/FDR memprovokasi teradinya pertentangan antara tentara Devisi Siliwangi dan Pasukan TNI di daerah Surakarta. Konflik di Solo tersebut menyebabkan tewasna dr.Muwardi, pemimpin gerakan Rakyat Revolusioner yang merupakan lawan politik FDR. Akibat ketegangan serta bentrokan-bentrokan yang kerap terjadi di surakarta, pemerintah merasa prihatin dan mengangkat Kolonel Gatot Subroto menadi Gubernur Militer Daerah Surakarta, yang membawahi saerah semarang, Pati, dan Madiun. Selanutnya Kolonel Gatot Subrto segera memerintahkan dihentikannya tembak-menembak dan memerintahkan kepada komandan pasukan yang bertikai untuk segera menyatakan kesetiaannya kepada pemerintah RI. Selain melakukan kerusuhan di daerah madiun , PKI/FDR juga melakukan berbagai teror serta aksi pembunuhan-pembunuhan lawan politiknya yang bertuuan untuk menatuhkan kewibawaan pemerintah RI.
d. Proklamasi Republik Soviet Indonesia
Puncak agitasi politik PKI adalah diproklamasikannya berdirinya Negara Republik Uni Soviet Indonesia oleh tokoh PKI Muso di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Tindakan tersebut bertujuan untuk meruntuhkan Negara Republik Indonesia untuk digantikan dengan pemerintahan PKI yang berideologi komunis. Setelah mengumumkan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia, Muso mengangkat Kolonel Joko Suyono sebagai Gubernur Militer Madiun. Dengan menggunakan RAdio Gelora Pemuda, PKI berusaha menarik simpati rakyat dengan menyatakan bahwa bagian yang terpenting dari revolusi adalah membersihkan tentara RI dari golongan reaksioner dan kolonial. Selain itu, Muso berusaha mendiskreditkan pemimpin RI seperti Sukarno-Hatta yang dituduh telah menual Indonesia kepada kaum kapitalis. Di pihak lain, tokoh PKI seperti Suripto menyatakan bahwa pemberontakan Madiun bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan pembersihan terhadap kaum reaksioner.
Setelah berhasil menguasai daerah seluruh kepresidenan Madiun, pihak komunis uga berhasil menguasai seluruh daerah karesidenan Pati dan menangkap dan membunuh secara kejam para pejabat pemerintah RI, perwira TNI, pemimpin-pemimpin partai, kaum alim ulama, dan golongan-golongan lainnya yang dianggap musuh PKI. Salah satu korban kekejaman PKI adalah Gubernur Jawa Timur yaitu R. Suryo, yang dibunuh di tengah hutan jati di Ngawi.
e. Penumpasan Pemberontakan PKI Madiun
Pemimpin RI menanggapi secara tegas aksi-aksi PKI dengan mengajak rakyat menentukan sikap untuk memilih Sukarno-Hatta atau Muso. Untuk menumpas pemberontakan tersebut pemerintah juga melancarkan Gerakan Oprasi Militer I dan melakukan pembridelan terhadap beberapa surat kabar berhaluan komunis, seperti Patriot, Bintang Merah, Revolusioner, dan Suara Ibukota. Untuk mengatasi pemberontakan PKI Madiun, pemerintah RI menjadikan Jawa Timur sebagai daerah istimewa dan Kolonel Sungkono diangkat sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. Karena Jendral sudirman sakit maka pemimpinan operasi penumpasan pemberontakan PKI diserahkan kepada Panglima Markas Besar Komando Jawa (PMBKD) Kol. A. H. Nasution. Meskipun terikat tugas untuk menjaga garis demarkasi menghadapi Belanda, TNI tetap melakukan operasi penumpasan penumpasan pemberontakan PKI. Dengan menggunakan kekuatan dua brigade cadangan umum devisi III Siliwangi dan Bride Surachmad dari Jawa Timur serta kekuatan Kesatuan TNI lainnya yang setia pada pemerintahan RI, seluruh kesatuan pemberontak akhirnya dapat ditumpas dan Kota Madiun dapat direbut kembali tanggal 30 September 1948. Dalam operasi itu Muso berhasil ditembak mati, sedangkan Amir Syarifudin dan para tokoh PKI/FDR lainnya dapat ditangkap dan diatuhi hukuman mati.
2. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
Berikut hal-hal penting mengenai gerakan DI/TII
a. Gerakan DI/TII di Jawa Barat
Gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia telah mulai di canangkan seak tahun 1942. Pada waktu itu, tokohDI/TII Kartosuwiryo berencana mendirikan sebuah negara islam di Jawa Barat. Selanjutnya, selama masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi kemerdekaan Kartosuwiryo menjadi anggota Masumi dan menjadi Sekretaris I Partai Masyumi.
Pada tanggal 14 Agustus 1947, Kartosuwiryo menyatakan perang suci melawan Belanda dan menolak isi Perjanjian Renvile. Penolakannya pada Rerjanjian Renvile diwujudkan pada sikap menolak melaksanakan hijrah bersama 4.00 pasukannya yang terdiri dari pasukan Hizbullah dan Sabilillah tetap tinggal di Jawa Barat.
Dalam sebuah pertemuan di cisayong pada bulan Februari 1948. Kartosuwiryo telah memutuskan untuk mengubah gerakan kepartaian masyumi Jawa Barat menjadi bentuk Negara serta membekukan partai-partai Masyumi di Jawa Barat. Selanjutnya, melalui Majelis Umat Islam yang dibentuknya, Kartosuwiryo diangkat sebagai Imam Negara Islam Indonesia (NII). Selain itu, dibentuk angkatan perang perang Tentara Islam Indonesia (TII) yang ditempatkan di daerah pegunungan di sekitar Jawa Barat.
Untuk menumpas gerakan DI/TII di Jawa Barat tersebut, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti melakukan pendekatan musyawarah yang dilakukan oleh M. Natsir. Namun, Pendekatan tersebut tidak membawa hasil sehingga pemerintah RI terpaksa mengambil tindakan tegas dengan menerapkan operasi militer yang diseut Operasi Pagar Betis dan Operasi Baratayudha untuk menumpas gerakan DI/TII. Operasi Pagar Betis dilakukan dengan melibatkan rakyat untuk mengepung tempat persembunyian gerombolan DI/TII. Di sisi lain, Operasi Baratayudha juga dilaksanakan TNI untuk menyerang basis-basis kekuatan gerombolan DI/TII. Upaya penumpasan DI/TII membawa hasil ketika pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat oleh Pasukan Siliwangi.
b. Gerakan DI/TII di Kalimantan
Tidak lama setelah Kartosuwiryo memproklamasikan gerakan DI/TII Jawa Barat,di daerah Kalimantan Selatan, Ibnu Hajar, seorang bekas letnan dua TNI memproklamasikan berdirinya DI/TII Kalimantan Selatan yang merupakan bagian dari gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat . Di daerah Kalimantan Selatan, Ibnu Hajar bersama dengan pasukannya yang diberi nama Kesatuan Rakyat yang Tertindas, melakukan berbagai aksi penyerangan terhadap pos-pos TNI di daerah Tersebut. Selanjutnya, karena Ibnu Hajar tidak mau menyerah maka pemerintah terpaksa mengambil tindakan tepat guna menumpas gerombolan Ibnu Hajar. Pada tahun 1959 gerombolan tersebut berhasil dihancurkan dan Ibnu Hajar ditangkap.
c. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah
Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Ia sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang ingin bergabung dengan TNI di Tegal. Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23 Agustus 1949. Mereka membentuk pemerintah tandingan di daerahnya. Gerakan yang sama juga ada di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu'dh Abdulrachman atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo dengan markas di Brebes dan Tegal. Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu. Pemerintah lalu membentuk pasukan Benteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Denan pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisa-sisa gerakan DI/TII di Jawa Tengah kemudian berhasil dikalahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur. Pada mulanya gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah mulai terdesak oleh TNI. Namun, pada bulan Desember 1951 mereka menjadi kuat kembali karena mendapat pertolongan dari Batalyon 426. Batalyon 426 di daerah Kudus dan Magelang memberontak dan menggabungkan diri menjadi DI/TII. Kekuatan Batalyon pemberontak ini dapat dihancurkan. Sisa-sisanya lari ke Jawa Barat berbagabung dengan DI/TII Kartosuwirjo.
Sementara itu, di daerah Merapi dan Merbabu terjadi kerusuhan oleh gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini dapat dihancurkan TNI pada bulan April 1952. Sisa-sisanya bergabung dengan DI/TII. Kekuatan DI/TII di daerah Jawa Tengah yang semula dapat dipatahkan justru menjadi kuat lagi karena bergabungnya sisa-sia Batalyon 426. Untuk mengatasi pemberontakan itu, segera dibentuk pasukan Banteng Raiders. Pasukan itu selanjutnya mengadakan operasi kilat yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, gerakan DI/TII di Jawa Tengah dapat dikalahkan setelah pusat kekuatan gerakan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas dihancurkan.
d. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Kahar Muzakar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang selama Perang Kemerdekaan ikut berjuang di Pulau Jawa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kahar Muzaka berpulang ke Sulawesi Selatan. Ia berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan. Laskar-laskar itu tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada tanggal 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirim surat untuk pemerintah dan pimpinan APRIS. Ia meminta agar semua anggota KGGS dimasukkan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Permohonan itu ditolak karena hanya mereka yang lulus dalam penyaringan saja yang boleh diterima dalam APRIS.
Pemerintah mengambil kebikjasanaan untuk menyalurkan bekas gerilyawan ke dalam Korps Cadangan Nasional. Kahar Muzakar sendiri diberi pangkat Letnan Kolonel. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah tampaknya membawa hasil. Akan tetapi, pada saat akan dilantik, Kahar Muzakar bersama anak buahna melarikan diri ke hutan dengan membawa berbagai peralatan yang diberikan.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1951. Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Inedonesia di bawah pimpinan Kartosuwirjo. Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dan mulai melancarkan operasi militer. Operasi penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu yang lama. Pada bulan Februari 1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu penyerbuan. Bulan Juli 1965, Gerungan (orang kedua setelah Kahar Muzakar) dapat ditangkap. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
e. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan pecah karena kekhawatiran akan kehilangan kedudukan dan perasaan kecewa diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah provinsi Sumatera Utara. Semula Tengku Daud Beureueh adalah GUbernur Militer daerah Istimewa Aceh. Pada tahun 1950 kedudukan Aceh diturunkan dari provinsi menjadi karesidenan, Daud Beureueh tidak senang karena jabatannya diturunkan. Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang mengatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Setelah itu, Tengku Daud Beureueh mengadakan gerakan dan mempengaruhi masyarkat melalui propaganda bernada negatif terhadap pemerintah RI. Untuk menghadapi gerakan itu, pemerintah mengirim pasukan yang memiliki persenjataan lengkap. Setelah beberapa tahun dikepung, baru pada tanggal 21 Desember 1962 tercapailah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Banyak dari gerombolan itu yang kembal ke panguan RI.
Dengan demikian, pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai. Pemimpin dari gerakan ini pun setuju untuk kembali ke pangkuan RI. Parkarsa penyelesaian di Aceh tersebut dipimpin oleh Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam I Iskandar Muda.
3. Gerakan Angkatan Perang Ratu adil
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke Kota Subang. Sementara di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap adanya keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan APRA) dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung. Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung. Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.
4. Pemberontakan Andi-Aziz
Latar belakang penyebab pemberontakan Andi Azis:
Adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Jalan peristiwa Pemberontakan Andi Azis:
Andi Azis merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Azis ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat. Untuk menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada 5 April 1950, pasukan Andi Azis menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Azis dan diganti Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Azis berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Azis terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur pasukan lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL. 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju untuk dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus meninggalkan Makassar.
Tokoh-tokoh dalam Pemberontakan Andi Azis:
- Andi Azis (Pemimpin bekas kesatuan KNIL)
- Kesatuan bekas KNIL
- Colonel Alex Kawilarang (Pemimpin pasukan dari 4 angkatan yang diperintahkan oleh Pemerintah RIS)
- Kapten Bohar Ardikusumah (Pemimpin Batalyon I Brigade 14 Siliwangi di Jawa Barat)
- Kolonel Soeharto (Pemimpin Brigade 10/Garuda Mataram di Jawa Tengah)
- Letkol Suprato Sukowati (Pemimpin Brigade 16/I di Jawa Timur)
- Letkol Warouw (Pemimpin Angkatan udara beserta pasukannya)
- Kapten udara Wiridinata (Pemimpin Angkatan udara beserta pasukannya)
5. Pemberontakan Maluku Selatan
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
Pemerintah RMS yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh secara illegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
6. Pemberontakan PRRI/Permesta
Sejarah Indonesia. Sejarah pemberontakan PRRI dan Permesta. Penyebab langsung pemberontakan PRRI/Permesta adalah adanya hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terutama di Sumatra dan Sulawesi mengenai masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sikap tidak puas tersebut mendapat dukungan dari sejumlah perwira militer.
Para perwira militer tersebut membentuk dewan daerah sebagai berikut :
- Dewan Banteng, dibentuk tanggal 20 Desember 1956 di Sumatra Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
- Dewan Gajah, dibentuk tanggal 22 Desember 1956 di Sumatra Utara oleh Kolonel Maludin Simbolon.
- Dewan Garuda, dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian.
- Dewan Manguni, dibentuk pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Manado oleh Mayor Somba.
Pemberontakan PRRI
Kemudian para tokoh militer dan sipil pada tanggal 9 Januari 1958 mengadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatra Barat. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah pembentukan pemerintahan baru dan hal-hal yang berhubungan dengan pemerintah baru tersebut.
Pada tanggal 15 Pebruari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara.
Untuk menghadaai pemberontakan PRRI, pemerintah Indonesia melakukan Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Tujuan operasi ini adalah untuk menghancurkan kekuatan pemberontak dan mencegah campur tangan asing.
Pemberontakan Permesta
Sementara itu, setelah dibentuk Dewan Manguni, para tokoh militer Sulawesi memproklamasikan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Proklamasi di Sulawesi dipelopori oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual, Panglima Wirabhuana. Permesata kemudian bergabung dengan PRRI.
Untuk menumpas pemberontakan ini, pemerintah melakukan operasi militer gabungan yang bernama Operasi Merdeka dipimpin oleh Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Operasi menumpas Permesta ini sangat kuat karena musuh memiliki persenjataan modern buatan Amerika Serikat terbukti dengan ditembaknya Pesawat Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) yang dikemudikan oleh seorang warga negara Amerika Serikat.
Pesawat itu ditembak pada tanggal 18 Mei 1958 di atas kota Ambon. Pada bulan Agustus 1958, pemberontakan Permesta baru dapat ditumpas. Kemudian pada tahun 1961, pemerintah membuka kesempatan kepada sisa-sisa pendukung Permesta untuk kembali ke Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar