Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.
Latar Belakang
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp1700 menjadi Rp2250.
"Katanya ada kenaikan upah, tapi ternyata upah buruh mulai uang makan, transport dan dinas sore (kerja shift sore) itu tidak dinaikan dari perusahaan. Yang akhirnya Mbak Marsinah mengajak kita-kita (buruh) untuk melakukan aksi mogok kerja," kata Uus, seorang rekan seperjuangan Marsinah saat ditemui merdeka.com, Sabtu (30/4) di kediamannya, di Malang, Jawa Timur.
Buruh membentuk tim kerja (koordinator) aksi, yang jumlahnya 18 orang termasuk Marsinah dan Uus. Di kelompok ini Marsinah ditunjuk sebagai penimpin. Bagi 18 orang itu, Marsinah merupakan sosok perempuan pemberani. Setiap kali melakukan aksi, Marsinah selalu berada di garis terdepan untuk menyuarakan orasinya. Aksi mereka membuat perusahaan panas.
"Saya itu ikut semuanya, mulai dari pembuatan spanduk hingga perobekan spanduk di perusahaan. Dan, Mbak Marsinah terus menyuarakan orasinya minta hak kita itu diberikan. Uang makan, transport, kerja shift sore," ucap perempuan 43 tahun tersebut.
Saat perobekan spanduk, suasana memanas. Uus dan buruh lainnya yang melakukan aksi mendapatkan kekerasan dari aparat Koramil dan Kodim setempat. Sebuah hal yang lazim di era Orde Baru, tentara ikut mengamankan demonstrasi di perusahaan.
"Ada sekitar 500 buruh yang melakukan aksi unjukrasa, tiba-tiba dipukul oleh aparat Koramil dengan kayu. Tapi, kami saat itu terus melawan, dan Mbak Marsinah terus berteriak dengan kencang, agar tidak takut dan terus maju," ujar ibu dua anak tersebut.
Perlawanan terus dilakukan buruh, akhirnya terwujud dan direalisasi oleh perusahaan, tuntutan buruh dikabulkan. Merekapun tidak melakukan aksi lagi.
"Karena sudah terwujud, aksi kami berhenti. Tapi, kami masih melakukan pertemuan kecil saja," ucapnya.
Tim kecil itu rupanya terus dipantau Kodim setempat. 13 Orang buruh dipaksa untuk tidak lagi aktif memimpin demonstrasi. Marsinah mendatangi Kodim tanggal 5 Mei 1993 untuk mencari tahu keberadaan kawan-kawannya.
Itulah terakhir kalinya Marsinah terlihat. Malamnya tak ada lagi yang pernah melihat Marsinah.
Rentang Waktu
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Proses Penyelidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Tanggal 8 Mei dia ditemukan sudah menjadi jenazah. Mayatnya ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wlangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kondisinya sangat menyedihkan. Semula dokter menyangka kemaluan Marsinah ditusuk dengan kayu. Namun ahli Forensik (alm) Munim Idris membantahnya.
"Luka Marsinah hanya di sekitar labia minora sebesar 3 sentimeter," ujar Mun'im. Luka itu bukan karena benda tumpul melainkan peluru yang ditembakkan," kata Munim Idris.
Marsinah dibunuh. Raganya tewas. Namun namanya diabadikan sebagai martir perjuangan buruh di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar